Hal tersebut disampaikan Ketua BKSAP DPR RI, Fadli Zon sebagai panelis dalam International Renewable Energy Agency (IRENA) Legislators Dialogue, yang digelar secara virtual, Senin (13/7) malam waktu Jakarta. Menurut Fadli Zon, ada berkah di balik pandemi saat situasi karantina maupun semi-karantina di berbagai belahan dunia berlangsung.
Beberapa studi yang diterbitkan di sejumlah tempat termasuk arxiv.org yang dikelola oleh Cornell University pada beberapa bulan awal tahun 2020 menurunkan emisi karbon dunia hampir 8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Ini menunjukkan pengurangan sementara dari energi berbasis fosil via transportasi darat dan udara dan juga permintaan energi listrik menghasilkan kualitas udara yang lebih bersih,” terangnya.
Melihat situasi tersebut, penggunaan EBT memberi peluang untuk tetap produktif dan sehat karena terbebas dari polusi karbon pada saat yang bersamaan. Kendati demikian, tantangan pengembangan EBT tidaklah mudah. Terutama saat pandemi.
“EBT mendapat kompetisi dari turunnya harga minyak dunia, yang membuat mereka lebih menguntungkan secara ekonomi. Selain itu, krisis lanjutan dari pandemi membuat bisnis EBT mengalami guncangan baik dari sisi rantai pasokan, interaksi para pekerja hingga situasi keuangan,” urai politisi Gerindra itu.
Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan intervensi dan memberi fokus ekstra atas stimulus agar industri EBT tetap bertahan saat krisis. Dampaknya, pencapaian target bauran energi EBT sebesar 23% dari total penggunaan energi pada 2025 akan semakin sulit. “Status saat ini yang sekira 9% saja sudah berat,” lanjutnya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah stimulus seperti subsidi untuk penggunaan biodiesel dan biaya surcharge untuk penggunaan solar, relaksasi tanggal operasional secara komersil, penjadwalan ulang pembayaran utang, hingga perpajakan.
Indonesia juga merencanakan percepatan dan desentralisasi proyek EBT di pemerintahan seperti pembangunan PLTS di Gedung Pemerintah atau penyimpanan ikan hingga pembangkit listrik tenaga matahari dan mikro-hidro secara off-grid di sejumlah daerah.
“Tetapi itu belumlah cukup. Indeks Stimulus Hijau yang diterbitkan vivideconomics, perusahaan konsultan ekonomi hijau berbasis di London, menempatkan Indonesia di urutan terbawah dari 16 negara ekonomi besar,” beber dia.
Pembahasan RUU EBT yang menjadi inisiatif DPR dan prioritas legislasi 2020 dapat menjadi pintu masuk menyiapkan segala pengaturan yang diperlukan demi industri EBT yang ramah investasi dan berkelanjutan. RUU diharapkan mendorong bisnis EBT berada dalam arena main yang setara dengan bisnis energi fosil.
“Pandemi ini jadi semacam blessing in disguise juga bagi DPR. Dengan situasi krisis seperti saat ini, kami dapat memiliki perspektif baru terkait pengembangan EBT khususnya hal apa yang perlu disiapin dalam situasi krisis,” pungkasnya.
IRENA Legislators Dialogue, merupakan dialog antar-anggota parlemen kali pertama yang digelar badan energi terbarukan dunia tersebut. Agenda utama dialog tersebut adalah EBT sebagai pengungkit layanan dalam merespon pandemic COVID-19. Sesi panel yang diikuti Fadli Zon adalah berkaitan dengan Shaping renewables in the new world after COVID-19 Pandemic.
Hadir dalam kesempatan tersebut juga Dirjen IRENA, Mr. Fransesco La Camera; Komisioner ECOWAS untuk Energi dan Pertambangan, Mr. Douka Sediko dan sejumlah panelis lain termasuk Ketua Global Renewable Congress, Ms. Barbel Hohn; Direktur Eksekutif Climate Parliament, Sergio Missama dan sejumlah anggota parlemen dari Kenya dan juga Nigeria. #DiplomasiDPR