Berkaitan dengan "sulit dipercaya", coba lihat data internasional "OECD Tourism Trends and Policies 2020" (buka lembar 340-344) atau dokumen "UNWTO tahun 2019". Pada data regional di tingkat kabupaten, coba akses dan buka dokumen dari BPS Kabupaten Lombok Timur, hitung berapa halaman yang kosong pada bagian pariwisata (tanpa data). Selanjutnya coba berkunjung ke Kantor Dispar Lombok Timur, kira-kira data apa yang bisa kita proleh?, atau di tingkat desa coba konfirmasi seberapa jauh pihak desa bisa memastikan gambaran kasar (soal netto nanti dulu) pendapatan dari sektor pariwisata.
Kutipan selanjutnya, sehubungan dengan anteseden dari "kapasitas lokal". Maka, model pengembangan pariwisata yang cenderung terpolarisasi secara spasial – misalnya sepanjang tepi laut, dibeberapa kota saja, dan wilayah tertentu berpemandangan indah – memberikan keuntungan tiba-tiba bagi pemilik tanah dan petani karena naiknya harga tanah dan disertai dengan kenaikan harga-harga yang lainnya. Pada masa yang akan datang situasi tersebut akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru (Spillane, 1994: 60).
Kutipan terakhir sekaligus point yang ingin disampaikan sebagai bahan renungan adalah; "sebagian besar tulisan tetang manfaat dan biaya (cost and benefit) pariwisata tertulis dalam bahasa ilmu ekonomi. Sebetulnya pariwisata harus ditulis dari berbagai kajian ilmu, seperti filsafat, antropologi, sejarah, astronomi, geologi, matematika, gastronomi, argonomi, seni, sinematografi, media, sastra, agama, politik, teknik, IT, dll." (Spillane, 1994: 75). Karena pariwisata itu lintas keilmuan dan keahlian, maka secara otomatis pada tataran teknis ia adalah objek "multi pemangku kepentingan" yang harus dikaji secara objektif. Monopoli pariwisata, akan semakin memperparah ketimpangan!
*Qory adalah Penulis,Pemerhati Sosial, Pariwisata dan Sedang Menempuh Studi S2 di Jogjakarta.