Mengenang Sosok AA Pandji Tisna Dalam Pergulatan Revolusi -->

Advertisement

DUKUNG JURNALISME BERKUALITAS DENGAN BERIKLAN DI KABAR BULELENG

Mengenang Sosok AA Pandji Tisna Dalam Pergulatan Revolusi

Redaksi Netizen
Jumat, 25 Agustus 2023



Buleleng (Bali) -- Anak Agung Pandji Tisna (11 Februari 1908 – 2 Juni 1978), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976. Beliau yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji Tisna, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna.




AA Panji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna.


 


 


Perjalanan Hidup Raja Buleleng ke 11 ini dimulai, antara usia tujuh hingga tujuh belas tahun, Pandji Tisna belajar di sekolah menengah Belanda, mula-mula di Singaraja, kemudian dilanjutkan di Batavia (Jakarta). Sekolahnya tidak dilanjutkan, lalu ia kembali ke Singaraja, bekerja membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi.




Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. 




Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana.




Selain Belanda saat bersekolah dan Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun.




Itu terlihat dalam karya karya sastranya, meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya.




Giatnya menulis dimulai sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali, I Swasta: Setahun di Bedahulu, dan Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara Dunia.




Dalam guratan karyanya, Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera.




Pada 1942, di Era revolusi fisik saat Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali.Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang.




Setelah Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing.




Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada 1944.



Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".




Menjelang akhir tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Pandji Tisna menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung), yang beranggotakan delapan pemimpin wilayah Bali, dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur.




Dalam hal keyakinan, pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.




Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.




Dalam akhir hayatnya, Beliau, Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.




Dalam aspek Pendidikan, menjadi sastrawan, Anak Agung Pandji Tisna mendapatkan pendidikan formalnya di HIS di Singaraja dan kemudian MULO di Batavia.





Oleh masyarakat luas, Anak Agung Pandji Tisna lebih dikenal sebagai pengarang novel. Roman-romannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang semuanya mengambil tempat di Bali, terutama di daerah Singaraja, tempat kelahirannya. 




Cerita-cerita pendeknya banyak dimuat dalam majalah "Terang Boelan" yang terbit di Surabaya. Ia juga sempat menulis sejumlah puisi, di antaranya "Ni Poetri", yang diterbitkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah "Poedjangga Baroe" di Jakarta.




Selain sebagai seorang Raja dan Sastrawan, ia juga sekaligus selaku Perintis pariwisata


Pandji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. 




Pada tahun 1953, Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. 




Tempat peristirahannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia" atau disingkat LOVE INA. Setelah itu, Pandji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Pandji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". 




Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.





Dalam kehidupan Keluarga, Anak Agung Pandji Tisna dilahirkan dari A.A. Putu Djelantik dengan istrinya Jero Mekele Rengga. Ia sendiri pernah mempunyai empat orang istri, yaitu Anak Agung Istri Manik, Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), Luh Sayang (Mekele Sadpada), dan Jro Mekele Resmi. 




Istri pertamanya Anak Agung Istri Manik melahirkan dua orang putera, istri keduanya, Ni Ketut Mayas, melahirkan dua putera dan seorang putri, istri ketiganya, Luh Sayang, melahirkan dua orang putera dan bersama istri keempat, empat putera dan dua puteri.




Berikut, Beberapa karyanya diurutkan berdasarkan historis tahun terbit.




1. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), novel pertama


2. "Panglajar djadi tjoelik", (1940) terjemahan bahasa Sunda oleh Soerjana


3. Sukreni Gadis Bali (1936) (pertama-tama terbit dalam bahasa Bali, kini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa lain)


4. "Bali Taruniyan Dedenekuge Kathawa", edisi bahasa Sinhala terjemahan Dr. P. G. Punchihewa


5. "The Rape of Sukreni", edisi bahasa Inggris, terjemahan George Quinn


6. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)


7. Dewi Karuna, karya novel di Medan (1941)[5]


8. I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan) (1955)




Demikian sekilas tokoh nasioanl asal Bali selain Pejuang, Raja, Sastrawan, dan Pembuka jalan Pariwisata di Pulau Dewata Bali.***