Kabarbuleleng.com -- Sidang lanjutan pencemaran nama baik yang dilaporkan Putu Agus Suradnyana terhadap Nyoman Tirtawan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi - saksi, digelar Pengadilan Negeri (PN) Singaraja pada Selasa, (19/12/2023).
Saksi yang dihadirkan yakni, Agus Apriawan, Kepala Kantor BPN Singaraja. staff seksi pengendalian dan penanganan sengketa, Belana Saraswati dan seorang tokoh masyarakat yakni Ketut Yasa.
Kepala BPN Singaraja dalam kesaksiannya, mengakui adanya perbedaan gambar dan juga mengakui munculnya sertifikat milik salah satu warga di dalam HPL.
Momen tersebut dipakai kesempatan oleh Penasihat Hukum Tirtawan, Gusti Putu Adi Kusuma Jaya SH, memohon kepada Majelis Hakim agar menggelar sidang lokasi.
"Mendengar keterangan dari saksi yang diajukan oleh penuntut umum, kami dari kuasa hukum terdakwa mohon perkenan majelis hakim untuk menggelar sidang lokasi,” ujar Gus Adi.
Dalam persidangan, ketua majelis hakim IGM Juliartawan didampingi Made Kushandari dan IGA Kade Ari Wulandari, mengapresiasi kesaksian yang disampaikan oleh para saksi-saksi.
Sebagaimana yang disampaikan Gus Adi, dengan dilakukannya Sidang Lokasi akan lebih mudah mengetahui kondisi fakta dilapangan terkait objek, lahan HPL No 1/Desa Pejarakan tahun 1976 yang diakui saksi ada perbedaan dengan HPL Pengganti No 1/Desa Pejarakan tahun 2020 yang diterbitkan berdasarkan permohonan pihak yang diberikan kuasa oleh Bupati Buleleng.
“Agar jelas lahan mana tumpang tindih dengan SHM atas nama warga masyarakat yang diterbitkan berdasarkan SK Mendagri No. 171/HM/DA/82 sesuai permohonan Bupati dan Kepala BPN Buleleng pada tahun 1982, termasuk objek perampasan yang dimaksud klien kami sehingga diadukan dalam perkara ITE, sebagaimana keterangan saksi Ketut Yasa terkait adanya tembok dan plang asset Pemkab Buleleng,” jelas Gus Adi dalam persidangan itu.
Menanggapi permohonan PS yang diajukan PH Tirtawan, Ketua Majelis Hakim menyatakan akan mempertimbangkan permohonan sidang lokasi.
Kepala ATR/ BPN Singaraja mengatakan pihaknya hanya menyampaikan data-data yang di Kantor terkait dengan HPL dan terbit penggantian dari Hak Milik.
"Kalau yang terkait kepemilikan, saya jujur saja saya tidak tahu, tapi yang jelas data itu sudah HPL terutama itu sudah dilakukan melalui kajian-kajian penertibatannya sehingga saya pikir pendahulu- pendahulu saya itu sudah melakukan sesuai dengan SOP", ujar Agus.
Disisi lain, dikonfirmasi terkait apa yang terungkap dan disampaikan dalam persidangan, Gus Adi malah menyatakan jalannya sidang tergolong lucu
"Sebetulnya fakta sidang tadi lucu ya, terutama dalam keterangan saksi dari pihak BPN, yakni Kepala BPN sendiri. Artinya apa, mereka mengakui munculnya sertifikat milik salah satu warga di dalam HPL itu tadi, diakui itu muncul barang. Itu sesuai dengan mekanisme juga. Itu yang pertama. Artinya sebetulnya sudah jelas-jelas bahwa memang terjadi perampasan disini, bahkan tadi ada statement dari Kepala BPN, akan membatalkan secara administratif terkait dengan sertifikatnya, tapi tidak membatalkan haknya, ini apa,kan lucu sebetulnya?. Inilah yang kita tekankan terkait dengan surat dari Pak Menkopolhukam, ada mafia-mafia tanah disini, itu yang pertama", jelas Gus Adi saat ditemui setelah sidang usai.
Menurutnya, hal kedua, kekonyolannya lagi bahwa saksi menyatakan ada pengukuran Tahun 2015, tetapi dikatakan bahwa proses hasil pengukuran tidak sesuai. Namun konyolnya kenapa kemudian menerbitkan sertifikat Tahun 2020 dengan menggunakan surat ukur Tahun 1971.
Sementara Tahun 2015 ini terjadi pengukuran gara-gara tidak sesuai kemudian dibatalkan, ini kan konyol sekali .
"Ini betul-betul mohon maaf, kita betul-betul yakin dengan surat yang disampaikan Pak Menkopolhukam, bahwa memang ada dugaan praktek mafia-mafia tanah disini. Kita mohonkan itu saja, sikat orang-orang seperti ini, jangan sampai kemudian masyarakat jadi gaduh, Pemerintah jadi gaduh dengan masyarakat, hanya karena oknum-oknum yang membuat sertifikat ini, artinya memberikan menyampaikan hal yang tidak benar." imbuhnya.
Dan yang ketiga hal penting yang saya sampaikan terkait sertifikat, yang Tahun 1976 itu berdasarkan SK Mendagri Tahun 1975 adalah HGU, Kalau memang petikan atau salinan.
Sementara terlapor Nyoman Tirtawan malah menyatakan dirinya akan segera bersurat ke Jakwas Kejagung RI tentang Kejari Buleleng bersama jaksa- jaksa terkait dalam penanganan kasus ITE
"Saya segera akan bersurat ke Jakwas Kejagung RI tentang Kejari Buleleng bersama jaksa-jaksa terkait dalam penanganan kasus ITE, jelas-jelas mengabaikan kebenaran yang sudah tertuang didalam surat kesepakatan bersama antara Mentri Kominfo, Kajagung dan Kapolri, dimana tidak bisa serta merta mempidanakan orang manakala menyuarakan kebenaran", kata Mantan DPRD Provinsi Bali yang pernah meyelamatkan uang Negara sebanyak 98 Millyar ini.
"Memang hal itu sudah diturunkan surat dari Menkopolhukam, ada indikasi kuat penyerobotan tanah milik warga, dan bahkan memberikan rekomendasi kepada Kapolri, agar menindak tegas para mafia tanah khususnya yang terlibat dalam kasus tanah batu ampar itu ke Kapolri," Urainya.
Menurutnya, semestinya, baik itu Kejaksaan dan Kepolisian mempedomani surat kesepakatan bersama daripada Kementrian terkait, ini kan bentuk daripada perlawanan perintah daripada atasan, baik itu Kapolri dan Kajagung.
"Dimana saya Nyoman Tirtawan sudah dibenarkan dari "oleh Lembaga Tinggi Negara", memang ada indikasi kuat tanah masyarakat diserobot ataupun dirampas", beber Nyoman Tirtawan.
Menurutnya, semestinya pihak Kepolisian dan Kejaksaan tidak bisa membuat P21, semestinya mengutamakan membuktikan kebenaran telah terjadi peristiwa penyerobotan, perampasan milik warga ataupun masyarakat.
Lebih lanjut Tirtawan mengatakan, "Karena masyarakat memang betul-betul memiliki SK Mendagri untuk Hak Milik, dan SHM yang notabene adanya di "HPL" yang ada indikasi bodong. Kenapa bodong? Karena HPL Tahun 1976 yang terbit atas dasar SK Mendagri Tahun 1975, yang ada HGU, tidak ada HPL. Dan itupun dipakai dasar membuat sertifikat pengganti dengan surat ukur Tahun 1971".
"Tapi sertifikat terbit Tahun 2020, berarti kan mengabaikan otentik daripada keadaan yang sesungguhnya, karena itu kan tanah pantai, yang cenderung terjadi mungkin abrasi dan sebagainya, berkurang atau bertambah daripada tanah tersebut. Tapi yang paling jelas tidak mungkin mengukur Tahun 1971, terbit sertifikat Tahun 2020, itu sudah tidak mungkin. Terlebih yang konyol Tanggal 28 Januari 2020, Pemkab Buleleng melalui BKPTD dengan tanda tangan Ketua Sugiarta Widiada memohon pembatalan sertifikat milik Nyoman Parwata. Namun kenapa BPN berani menerobos atau melanggar SOP memberikan sertifikat diatas tanah yang sudah ada sertifikatnya, itu Pak Nyoman Parwata", kata Tirtawan menambahkan.
"Sesuai dengan Prosedur, semestinya sebelum menerbitkan sertifikat diatas bidang tanah terkait, harus dalam posisi Clear and Clean. Apakah disana ada permasalahan, kalau ada permasalahan wajib ditunda, apakah penggantian, permohonan baru, wajib ditunda sampai Clear and Clean tentang objek yang dimohonkan", pungkas Tirtawan mengakhiri keterangannya. (TIM)