Kabar Buleleng - Singaraja selama ini dikenal sebagai "kota pendidikan" di Bali, sebuah gelar yang membawa kebanggaan sekaligus tanggung jawab besar. Namun, kabar tentang ratusan siswa SMP yang belum bisa membaca dan menulis menjadi tamparan keras bagi identitas ini. Bagaimana mungkin kota yang dicitrakan sebagai kota pendidikan justru gagal dalam fondasi paling dasar dari pembelajaran: literasi?
Beberapa hari ini, publik dihebohkan oleh viralnya ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, yang tak bisa membaca. Ini hanyalah satu dari sekian banyaknya sekolah dan anak yang terpinggirkan oleh sistem yang terlalu sibuk mengejar angka, tapi lupa pada esensi: membentuk manusia.
Kita harus jujur, ini bukan semata kesalahan siswa. Bukan pula tanggung jawab tunggal guru. Ini adalah cermin retak sistem pendidikan kita. Kita terlalu lama membiarkan ketimpangan terjadi. Anak-anak di kota besar berlomba-lomba masuk sekolah unggulan, sementara di pelosok, banyak yang bahkan tidak tahu huruf.
Lebih menyakitkan lagi, kasus ini baru mendapat perhatian setelah viral. Seolah-olah harus menunggu sorotan kamera dulu baru kita bergerak. Di mana pengawasan? Di mana evaluasi belajar yang semestinya dilakukan berkala? Mengapa siswa bisa naik kelas tanpa kemampuan dasar seperti membaca?
Ini bukan sekadar soal kurikulum. Tapi ini tentang keadilan pendidikan. Tentang bagaimana setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, berhak mendapatkan hak yang sama untuk belajar. Tentang bagaimana guru harus diberdayakan, bukan dibebani. Tentang bagaimana kita harus membangun sistem yang peduli, bukan sekadar administratif.
Dari kegaduhan di tengah viralnya siswa SMP yg tidak bisa baca ini, kota pendidikan begitu sapaan dari Kota Buleleng apa masih relevan?
Masalah ini bukan sekadar kegagalan siswa, tapi cermin dari sistem yang perlu ditinjau ulang mulai dari kurikulum, kualitas guru, hingga pengawasan pemerintah. Ada kemungkinan bahwa fokus pendidikan lebih berat pada pencapaian administratif dan nilai ujian, ketimbang memastikan setiap anak benar-benar memahami dan menguasai keterampilan dasar.
Melalui tulisan ini, Ketua Umum Kohati HMI Cabang Singaraja, Nur Hadiyani Liza Putri, yang notabenenya juga seorang pendidik memberikan saran dan harapan untuk kita bersama-sama membangun pendidikan yang layak dan lebih baik untuk generasi emas melalui point-point berikut:
1. Evaluasi Menyeluruh: Pemerintah daerah dan pusat harus melakukan pemetaan kondisi literasi di sekolah-sekolah, terutama di daerah terpencil. Ini bukan hanya tugas Dinas Pendidikan, tapi juga tanggung jawab moral seluruh pemangku kepentingan.
2. Pendampingan Khusus: Anak-anak yang mengalami ketertinggalan harus mendapatkan pendampingan intensif, bukan malah disisihkan atau dipermalukan. Guru-guru harus dibekali pelatihan khusus untuk menangani siswa dengan kebutuhan belajar dasar.
3. Berdayakan Guru, Bukan Sekadar Mengatur: Stop membebani guru dengan tumpukan administrasi. Fokuskan mereka pada pengajaran dan pendampingan. Anggarkan insentif dan pelatihan berkelanjutan.
4. Libatkan Masyarakat: Pendidikan bukan hanya urusan sekolah. Orang tua, tokoh masyarakat, dan organisasi lokal harus ikut berperan aktif. Kita semua adalah bagian dari solusi.
Krisis ini seharusnya menyadarkan kita bahwa gelar "kota pendidikan" bukanlah label permanen. Ia harus dijaga dan dibuktikan lewat kualitas nyata dalam pendidikan, terutama pada aspek-aspek fundamental seperti kemampuan membaca dan menulis. Sudah saatnya Singaraja mengevaluasi ulang kebijakan dan strategi pendidikannya untuk pendidikan Buleleng yang lebih baik.